Kamis, 08 Juli 2010

Kisah Kuli Tinta, Celengan Babi & Bom Molotov

PEWARTA -JATENG.Masyarakat khususnya insan jurnalis dibuat geger setelah tersiar kabar Kantor Redaksi Tempo yang terletak di bilangan Jalan Proklamasi dilempari bom molotov oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Peristiwa berbau intimidasi tersebut memang bukan kali pertama dirasakan majalah mingguan itu atau perusahaan media lainnya. Namun, ironisnya kejadian tadi semakin menambah panjang potret kelam kekerasan atau pressure terhadap insan pers.

Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Di zaman reformasi dan era keterbukan saat ini, cara-cara kurang elegan justru masih kerap terjadi. Bahkan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang kebebasan pers pun seperti diabaikan. Hak jawab dan adanya lembaga Dewan Pers lagi-lagi dikalahkan dengan hukum jalanan.

Kejadian seperti ini kembali harus dijadikan pelajaran oleh seluruh kalangan masyarakat agar lebih mengerti dengan sistem hukum yang kata Pak Presiden harus dijadikan panglima. Jika bersengketa atau bermasalah dengan media massa, gunakanlah hak jawab dan berkonsultasilah kepada Dewan Pers. Jangan lagi menggunakan cara-cara represif yang dapat membodohkan masyarakat.

Kejadian pelemparan bom molotov tidak hanya disesalkan banyak kalangan, tetapi juga membuat suasana politik semakin memanas dan polemik antara Tempo dengan Polri semakin runcing. Betapa tidak, kendati sang pelempar bom dan aktor intelektualnya belum diketahui, namun publik akan mengira pelakunya adalah pendukung Polri. Sebab, saat ini Tempo tengah bermasalah pascaterbitnya majalah bergambar polisi dengan celengan babi.

Kita tidak boleh menuding pelakunya adalah pendukung Polri, karena belum ada cukup bukti. Namun, sebaiknya kita lebih menuntut kepada aparat kepolisian agar dapat mengungkap siapa pelaku, aktor di balik layar, dan motif penyerangan tersebut. Sehingga, mereka yang terlibat dapat dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Mari bersama kita ciptakan situasi yang kondusif dan menanggalkan cara-cara kurang elegan yang selama ini kerap dilakukan. Mereka yang menerima kritik dari publik melalui media massa hendaknya tidak disikapi dengan cara jalanan tetapi lebih dijadikan introspeksi untuk menjadi lebih baik. Bagaimana pun, media sudah ditakdirkan untuk menjadi kontrol sosial yang dilindungi undang-undang.

Semoga, kasus pelemparan bom molotov dapat menutup kisah kelam praktik intimidasi yang kerap dirasakan para jurnalis. Selain itu, polisi juga harus mengusut tuntas kasus ini untuk lebih membuktikan perannya sebagai pelindung masyarakat, sekaligus menghapus tudingan sebagai aktor dibalik pengeboman tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar