Rabu, 05 Mei 2010

PERSATUAN PEWARTA WARGA INDONESIA (PPWI)

Sejarah Selayang Pandang

Sejak fasilitas internet menjadi bagian dari kehidupan masyarakat umum, banyak sekali bermunculan penulis berbakat. Mereka dengan sangat bersemangat menuangkan berbagai ide, buah pikiran, pengalaman, informasi, dan lain-lain dalam bentuk tulisan. Tidak sedikit di antara hasil karya mereka yang tergolong berkualitas tinggi dan perlu dibaca oleh orang lain. Namun sayangnya para penulis ini kurang mendapat perhatian dan bahkan tidak diakui oleh kalangan pekerja dan pengelola media massa professional. Bahkan lebih banyak dari mereka harus puas menjadi bahan cibiran sebagai penulis amatiran dan termarginalkan oleh masyarakat pers mainstream.

Derita dan kekalutan para “penulis amatiran” tidak berakhir di situ saja. Mereka pun amat kesulitan untuk mendapatkan media yang mau mengakomodasi kebutuhan publikasi hasil karyanya. Beruntunglah, internet memberi berkah bagi semua orang dalam bentuk penyediaan wadah menulis bagi sesiapa saja yang ingin mengekspresikan segala kreativitas kemanusiaannya. Jadilah fenomena blogger melahirkan berjuta penulis blog, yang telah menjadi pemandangan umum hari ini.

Pada perkembangan lebih lanjut, beberapa kalangan telah menginisiasi pembentukan media massa tanpa batas yang didedikasikan bagi siapa saja yang ingin menulis dan menyampaikan informasi atau berita yang dimilikinya untuk dipublikasikan pada media-media massa yang mereka bangun. Sebutlah beberapa media di Indonesia seperti koran online KabarIndonesia, halamansatu, panyingkul, dan lain-lain. Baru pada saat paling terakhir ini, beberapa media massa utama, seperti Kompas dan Republika mencoba memberi ruang bagi penulis pewarta warga untuk ikut berpartisipasi di media mereka, namun masih terbatas pada media online yang mereka kelola.

Dari pojok lain, keberadaan para “hobi-nulis” tersebut cukup kesulitan menjalankan aktivitas menulis karena terkendala oleh sumber informasi primer yang sukar diakses akibat ketiadaan wadah atau organisasi yang menaungi dan mendukung mereka. Kenyataannya, untuk bisa bergabung di salah satu persatuan penulis (wartawan) profesional, para penulis non-profesional tersebut harus memenuhi berbagai macam persyaratan yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang tidak memiliki media tetap ataupun profesi sebagai reporter. Hal ini menimbulkan hambatan bagi setiap penulis untuk mendapatkan akses ke berbagai sumber, terutama yang bersifat protokoler, karena akan dianggap sebagai pengumpul informasi liar, dan lain sebagainya. Hal inilah yang medorong para penulis pewarta warga untuk mendirikan suatu organisasi yang dapat menampung semua penulis pewarta warga dari latarbelakang apapun.

Yang dimaksud dengan Pewarta Warga (citizen reporter) adalah mereka yang memiliki hobi menulis, baik untuk konsumsi media massa online dan offline, maupun menulis di blogger ataupun di milis dan media lainnya. Pewarta warga juga termasuk mereka yang beraktivitas memberitakan informasi dan berita berbentuk berita foto, berita video/film, dan pemberi informasi via telepon ke stasiun radio dan televisi. Pada saat ini siapa saja bisa menjadi reporter tanpa harus memiliki latar belakang pendidikan jurnalisme atau apapun juga. Setiap pemilik blog ataupun setiap orang yang pernah menulis di milis, dapat dikategorikan sebagai citizen reporter.

Umumnya, pewarta warga menulis bukan untuk konsumsi media mainstream atau media utama seperti majalah atau koran-koran lainnya, melainkan untuk sesama pembaca. Reporter-reporter orang biasa ini lebih dikenal dengan sebutan para Pewarta Warga atau Citizen Reporter. Mereka tidak terikat dengan/oleh media massa elektronik (online) ataupun media massa cetak tertentu. Dengan demikian, mereka bisa jauh lebih bebas mengungkapkan pendapat maupun pikiran mereka masing-masing.

Pemberitaan menggunakan system pewarta warga biasanya disebut Citizen Journalism (jurnalisme warga atau jurnailsme orang biasa). Citizen Journalism adalah jurnalisme akar rumput yang muncul dan tumbuh dari bawah ke atas, dari masyarakat di level bawah, dan bukan dari atas ke bawah. Citizen jurnalism dapat disebut juga sebagai jurnalisme advokasi, karena melalui sistem jurnalisme warga setiap penulis dapat memberitakan atau menceritakan perjuangan mereka, misalnya memberitakan tentang pencemaran lingkungan hidup mulai dari pembakaran hutan sampai dengan semburan lumpur panas. Mereka bisa menuturkan secara detil, faktual, dan menyeluruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, pola ini bukan sekedar dalam bentuk berita ”kering” belaka, tapi mereka menghayati dan menjiwai apa yang mereka ceritakan, sebab hal itu adalah hasil pengamatan ataupun pengalaman mereka sendiri. Bukan hanya sekedar berita yang tawar melainkan berita yang ditulis, digambar, dan disampaikan dengan penuh perasaan.

Berangkat dari gairah untuk berjuang dan bercerita inilah timbul jurnalisme orang biasa yang akhirnya menciptakan jutaan Pewarta Warga. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan para Pewarta Warga Indonesia, baik dalam maupun di luar negeri, didirikanlah organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia disingkat PPWI. Salah satu keunikan organisasi ini dibandingkan dengan organisasi wartawan professional adalah bahwa PPWI bersifat global, tanpa sekat batas-batas negara, umur, pendidikan, latar belakang ekonomi dan pekerjaan, dan lain-lain. Semua Pewarta Warga Indonesia di pelosok dunia mana pun dapat turut bergabung menjadi anggota.

PPWI dideklarasikan oleh para Pewarta Warga pada tgl. 11 November 2007, bertempat di Aula SMA Regina Pacis, Slipi, Jakarta Barat. Sebagai Ketua Umum PPWI dijabat oleh Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA dan Sekretaris Jenderal Ruslan Andy Chandra, Dipl.PR(Aust). Saat ini PPWI telah memiliki cabang di Yogyakarta dan Palembang. Dalam beberapa waktu mendatang akan dibentuk pengurus cabang di Manado, Makassar, Padang, Semarang, Siak, dan tempat lainnya. Juga terdapat beberapa cabang di luar negeri, yakni di New Zealand, India, USA dan Belanda.***

0 komentar:

Posting Komentar